"Mixtape" Sang Romantis Paling Serius Seluruh Dunia
- haloayukp
- Jun 17, 2021
- 5 min read

“The mixtape is a unique meeting-point between two people — like a letter or a dance. It remains the best way to let music have your feelings for you.” Lavinia Greenlaw dengan tulisannya yang berjudul The Joy of Mixtape melalui laman BBC Culture.
Mixtape mungkin terdengar asing bagi teman-teman seusia saya apalagi bagi adik-adik imut yang jauh lebih muda. Jadi, untuk menyamakan persepsi terlebih dahulu, mixtape merupakan kumpulan lagu pilihan yang berasal dari proses perekaman lagu asli ke dalam satu buah kaset yang digunakan untuk kebutuhan personal. Sederhananya mixtape ini adalah playlist jaman dulu, bentuknya belum digital masih berupa kaset pita.
Dilansir melalui situs inibaru.id berjudul “Mengintip Sejarah Mixtape di Indonesia”, Samack seorang jurnalis musik dan pengelola Demajors Malang memaparkan bahwa mixtape muncul pada tahun 1980-an. Ketika itu karya para musisi berbentuk rilisan fisik yaitu kaset pita, CD, atau piringan hitam. Dari sini lah biasanya orang-orang merekam lagu kesukaan untuk disatukan menjadi sebuah mixtape. Caranya? Menggunakan tape recorder/tape double deck, perekaman bisa dilakukan dari satu kaset ke kaset lainnya, atau bisa juga dengan merekam lagu pada siaran radio ke dalam kaset.

Soal rekam-merekam ini jangan salah kaprah duluuu.. Jelas kegiatan perekaman dalam pembuatan sebuah mixtape ini tidak dibuat untuk kebutuhan komersil. Mixtape lebih kepada sebuah medium penyampai rasa dari seseorang kepada orang lain yang dianggapnya istimewa. Terlihat dari kumpulan lagu-lagu yang dipilih. Mixtape memang bisa dikatakan sudah lewat masanya, namun dari sana lah menurut saya budaya playlist berasal. Menyusun lagu-lagu yang dikategorikan khusus sesuai dengan tema, genre, hingga mood tertentu menjadi satu agar memudahkan pendengarnya untuk mendengarkan yang hanya sedang ingin didengarkan. Karena pada masanya, digital platform tentu saja belum terlihat batang hidungnya, apalagi sebuah platform yang khusus untuk musik.
Kebetulan dulu masa SMP saya tidak dihabiskan seperti teman-teman kebanyakan, mencoba mencicip cinta monyet, menghabiskan uang di warnet, atau mulai mengenal make up. Jadi saya lebih punya banyak waktu di rumah untuk menyetel radio atau memutar kaset-yang-saya-tidak-tahu-itu-musik-apa milik kakak perempuan saya.
Saya lebih tertarik untuk mendengarkan cuap-cuap para penyiar yang diikuti dengan lagu-lagu kejutan. Kemudian berusaha untuk ikut berinteraksi dengan mengirim pesan ke sana, entah kirim salam, kadang minta diputarkan lagu kesukaan. Saya juga lebih suka membaca tulisan-tulisan ucapan terima kasih dan kumpulan lirik lagu yang ada di kertas sampul album tiap kaset. Nah, dari kebiasaan ini juga yang membuat saya akrab dengan sebutan mixtape. Dari sana saya menyimpulkan bahwa musik dan apapun yang berada di antaranya adalah sebuah pesan.
“Dengerin lagu Senja Teduh Pelita aku jadi inget kamu..”
“Udah dengerin lagu barunya Juicy Luicy belum? Ih harus dengerin, itu kamu banget!”
“Aku lagi sering dengerin lagu lamanya Hoolahoop soalnya jadi inget jaman SMA, inget nggak waktu kamu nangis di depan panggung pas mereka tampil?”
Hehehe iya satu dua kalimat di atas pasti pernah keluar dari bibir manismu kan? Musik dijadikan penyampai pesan karena makna dari tiap lirik bisa diinterpretasikan secara luas oleh para pendengar. Biasanya akan cenderung ke persoalan yang terlihat berhubungan dengan diri sendiri, kalau bahasa masa kininya, sih “can relate, bun.”
Mixtape ini lah yang dimanfaatkan sebagai komunikator bagi beberapa orang yang suka musik. Diisi dengan lagu-lagu romansa dari Kahitna, yang disisipkan lagu-lagu dari Sheila On 7, dan ditutup oleh suara merdu dari Marcel, perpaduan yang ditujukan kepada seorang wanita di ujung ruangan yang sedang menatap mesra cangkir kopinya. Harapannya adalah sang puan paham bahwa segala lirik yang keluar adalah isi hati yang berharap balas. Begitu kira-kira cara mainnya.
Menurut Jamalus dalam bukunya yang berjudul “Pengajaran Musik Melalui Pengalaman Musik” pada tahun 1988, “ekspresi dalam musik adalah ungkapan pemikiran dan perasaan yang mencakup semua suasana dari tempo, dinamika, dan warna nada dari unsur-unsur pokok musik, dalam penyampaian yang diwujudkan oleh seniman musik atau penyanyi kepada pendengarnya.” Pernyataan ini diaminkan melalui musik yang dalam perkembangannya dikemas dalam bentuk mixtape.
Kemudian biasanya makna dan tujuannya bisa secara tersirat dan tersurat dipahami oleh si penerima mixtape. Ini karena menurut Wendell Johnson dalam DeVito dalam buku Alex Sobur berjudul “Semiotika Komunikasi”, disebutkan bahwa terdapat enam model proses makna, yaitu: 1. Makna yang terdapat dalam diri manusia 2. Makna berubah 3. Makna membutuhkan acuan 4. Penyingkatan yang berlebihan akan mengubah makna 5. Makna tidak terbatas jumlahnya Nah, musik yang kemudian dikemas menjadi mixtape sebagai penyampai pesan memenuhi dua model proses makna yaitu; makna membutuhkan acuan, dan makna tidak terbatas jumlahnya. Saya akan bahas dua poin makna ini karena keduanya sangat berhubungan baik dan saling support, ah indahnya❤
Makna tidak terbatas jumlahnya, setiap kata bisa memiliki beragam makna, oleh karena itu poin selanjutnya sangat dibutuhkan agar tidak terjadi salah persepsi, yaitu adalah makna membutuhkan acuan.
Artinya adalah dalam sebuah komunikasi (proses penyampaian pesan) pasti memiliki kaitan dengan dunia atau lingkungan eksternal. Kaitan ini yang membangun konteks dalam sebuah proses komunikasi. Kedua perihal ini saling berhubungan kan? Intinya adalah ketika terdapat kata yang multitafsir, coba dicek kembali konteks apa yang sedang dibicarakan, jadi… goodbye misleading!
Misalkan begini, pada lagu Jatuh Hati milik Raisa terdapat sepenggal lirik berbunyi:
“Aku tersihir jiwamu..”
Tersihir kan biasanya diartikan ke berubah bentuk secara ajaib atau seketika lupa ingatan karena pergi ke dunia lain. Namun.. ketika dilihat konteks kalimatnya kita bisa paham bahwa tersihir yang dimaksud adalah terpesona.
Selain itu, dengan mengirim mixtape bertema lagu-lagu cinta juga sudah memberikan makna bahwa seseorang ingin menyampaikan perasaan cintanya kepada si penerima mixtape. Ya gituuu…
Romantisnya mixtape ini berpengaruh cukup besar dan longlasting, berangkat dari sebuah mixtape bisa menghasilkan ide cerita sebuah film yang tayang di tahun 2017 berjudul Galih dan Ratna, sebuah remake dari film legendaris Gita Cinta dari SMA yang sudah lebih dahulu rilis pada tahun 1979. Memiliki perubahan cerita dari film sebelumnya, latar tempat dalam film Galih dan Ratna didominasi oleh sebuah toko kaset tua.
Bercerita tentang asmara antara dua orang remaja yang mempunyai antusiasme yang sama di bidang musik. Cerita dimulai dengan Ratna yang menghampiri Galih ketika sedang mendengarkan mixtape milik Ayahnya melalui sebuah Walkman tua, terus mereka dengerin berdua, deh, di lorong sekolah.

Dilanjutkan dengan mixtape penuh cinta yang dibuat oleh Galih untuk Ratna yang kemudian dilengkapi dengan beragam intrik pelengkap. Hal yang membuat film ini unik adalah mengangkat budaya mixtape di era modern yang sudah serba digital.
Pokoknya Galih dan Ratna versi modern ini dimulai dan diakhiri oleh mixtape, mengingat adegan Ratna yang kembali memutar mixtape dari Galih sambil nangis sesegukan di kereta sukses menjadi sad ending dalam film ini.
Ada lagi film kebangsaan para korban ghosting yang sampai saat ini masih diperdebatkan siapa yang salah. Yak! 500 Days of Summer. Semua kejadian pilu dan menyedihkan yang dialami Tom tidak akan terjadi kalau Summer nggak sok akrab di dalem lift. Pake segala nanya lagu yang udah kedengeran jelas banget ya elah lu Summer kebangetan ya! Romantisme yang berhasil dibentuk melalui budaya mixtape ini adalah kenangan tiada akhir. Karena mixtape telah berhasil bertahan dan beranak pinak menjadi versi modern melalui playlist lagu di banyak digital platform.
Pada akhirnya semuanya harus beradaptasi, sama seperti mixtape yang sebelumnya berupa tape cassette kini sudah menjadi playlist lagu dalam digital platform. Mengirim kode ke gebetan juga jadi lebih gampang dengan share now playing lewat banyak sosial media, atau kalau mau lebih niat ya bikinin playlist pakai namanya kirimin, deh. Alurnya sama, cuma effort dan kesan eksklusifnya aja yang berbeda karena playlist buatan sendiri di Spotify bisa didengarkan oleh siapa saja dengan mengetik keyword yang relevan. Kalau kaset mixtape? Ya enggak dong! Sangat personal dan lebih intimate.
Sebagai orang yang punya antusiasme besar di musik tapi tidak bisa bermain alat musik apapun, bisa bertukar mixtape menurut saya adalah romantisme sederhana paling serius seluruh dunia. Saya juga masih menganggap kalimat:
“Coba dengerin lagu ini, deh..”
sebagai love language.
Menurut saya ini bukan sekadar meminta lagu tertentu untuk didengarkan, lebih jauh seperti mempersilakan masuk ke dunia seseorang.
Referensi: Alex Sobur, 2003, Semiotika Komunikasi Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Gregorius Manurung. (2020). Mengintip Sejarah Mixtape di Indonesia. Diakses secara berkala sejak Juli 2020 dari https://inibaru.id/indimania/mengintip-sejarah-mixtape-di-indonesia Lavinia Greenlaw. (2015). The Joy of Mixtapes. Diakses secara berkala sejak Juli 2020 dari https://www.bbc.com/culture/article/20151015-the-joy-of-mixtapes Wahyulianto, E. (2016). Analisis Semiotika Ferdinand de Saussure Dalam Lirik Lagu “Setan Tertawa”, “Sarjana Muda”, “Mafia Hukum”. (Skripsi Sarjana, Universitas Muhammadiyah Malang, 2016). Diakses secara berkala sejak Juli 2020 dari http://eprints.umm.ac.id/45904/3/jiptummpp-gdl-ekowahyuli-45295-3-babii.pdf
Comentários